Sistempemerintahan kerajaan Kediri terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan, adapun raja - raja yang pernah berkuasa pada masa kerajaan Kediri adalah: Berkat bantuan Aria Wiararaja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian diampuni oleh Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit. Pada tahun 1293 datang pasukan Mongol yang Sistem Usaha Swasta Dengan kemenangan golongan liberal di parlemen Belanda maka mulai ditetapkan sistem ekonomi liberal yang ditandai dengan masuknya modal asing ke Indonesia. Masa ini disebut Politik Pintu Terbuka (open door policy) atau politik ekonomi liberal kolonial dilandasi oleh beberapa undang-undang antara lain. Vay Tiền Nhanh Chỉ Cần Cmnd. Candi penataran, peninggalan Kerajaan Kediri. Foto Pemkab BlitarKerajaan Kediri merupakan kerajaan Hindu di Pulau Jawa yang tumbuh pada abad ke-11 masehi. Kerajaan ini memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas hingga seluruh Pulau Jawa dan sebagian Pulau Sumatera. Karena wilayah kekuasaannya yang luas, kerajaan ini mampu mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya. Peninggalan Kerajaan Kediri masih bisa kita temui sampai saat ini. Bagaimana sejarah berdirinya Kerajaan Kediri? Siapa saja raja yang berkuasa? Agar lebih memahaminya simak penjelasan berikut. Sejarah Kerajaan KediriKerajaan ini merupakan pecahan dari Kerajaan Kahuripan yang dipimpin oleh Dharmawangsa Airlangga dan berpusat di daerah Medangkamulan. Di tengah masa kejayaannya, terjadi perebutan kekuasaan antara kedua putera Airlangga, yaitu Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Untuk mencegah terjadinya peperangan, akhirnya Airlangga membagi dua kerajaannya menjadi Kerajaan Janggala dan Pandjalu. Kedua kerajaan ini dipisahkan oleh Gunung Kawi dan Sungai Brantas. Kerajaan Janggala diberikan kepada Mapanji Garasakan dan wilayah kekuasaannya berpusat di kota Kahuripan. Sedangkan Kerajaan Pandjalu diberikan kepada Sri Samarawijaya dan wilayah kekuasaannya berpusat di Kota Daha. Meskipun masing-masing sudah diberikan tahta dan kerajaan, kedua putera Airlangga masih merasa tidak puas. Keduanya merasa berhak untuk memiliki seluruh tahta Airlangga Akhirnya peperangan pun tak dapat dielakkan. Mapanji Garasakan dan Sri Samarawijaya berperang merebutkan tahta kerajaan Airlangga. Peperangan dimenangkan oleh Sri Samarawijaya, akhirnya Kerajaan Pandjalu dan Janggala pun resmi menjadi miliknya. Ibukota kerajaan kemudian dipindahkan dari Daha ke Kediri. Dan kini Kerajaan Pandjalu lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Kerajaan Kediri runtuh pada tahun 1222 M. Selama 177 tahun masa berdirinya, kerajaan ini cukup membawa pengaruh yang besar di tanah Jawa. Bahkan Kerajaan Kediri pernah mencapai masa kejayaannya dan membuktikan pencapaianya di banyak bidang. Arca Wisnu, peninggalan Kerajaan Kediri. Foto wikipediaRaja-raja Kerajaan KediriSelama 177 tahun berdiri, ada delapan raja yang berkuasa. Salah satunya adalah Sri Aji Jayabaya yang membawa Kediri pada masa kejayaannya. Adapun nama raja-raja Kerajaan Kediri yang pernah berkuasa adalah sebagai berikut Sri Samarawijaya 1042 MSri Jayabaya 1135 – 1157 MSri Sarweswara 1159 – 1161 MSri Kameswara 1180 – 1190 MSri Kertajaya 1194 – 1222 MMasa Kejayaan Kerajaan KediriKerajaan Kediri mencapai masa kejayaannya saat dipimpin oleh Raja Sri Jayabaya. Berdasarkan catatan yang ada, Sri Jayabaya berkuasa pada tahun 1135-1157 M. Banyak pencapaian yang diperoleh Raja Sri Jayabaya, salah satunya adalah perluasan kekuasaan. Jayabaya mampu memperluas kekuasaan Kerajaan Kediri sampai seluruh Pulau Jawa dan Sumatera. Kemudian ia juga mampu menyejahterakan kehidupan warganya. Hal ini terbukti dari perekonomian yang melaju sangat pesat. Bahkan sektor pertanian dan perdagangan pun dinilai sangat makmur di masa kepemimpinannya. Dalam kepemipinannya, seluruh wilayah Kediri bisa bersatu. Jayabaya mampu menurunkan raja-raja di tanah Jawa seperti Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Mataram Islam. Banyak catatan prasasti ditemukan pada masa ini, di antaranya prasasti Hantang 1135 M, prasasti Talan 1136 M, prasasti Jepun 1144 M. Selain itu ditemukan juga karya sastra seperti Kakawin Bharatayudha 1157 M. Jayabaya dikenal akan ramalannya yang dinamakan Jangka Jayabaya. Beberapa ramalannya bahkan disebut telah terbukti kebenarannya di masa kini. Ilustrasi Kerajaan Kediri. Foto Kediri adalah salah satu kerajaan Hindu yang berlokasi di tepi Sungai Brantas, Jawa Timur. Kerajaan Kediri berdiri pada abad ke-12 dan merupakan bagian dari kerajaan Mataram pertama kerajaan Kediri ialah Sri Jayawarsa Digjaya Shastraprabu. Sedangkan raja terakhirnya adalah Kertajaya atau Dandang Singkat Berdirinya Kerajaan KediriKerajaan Kediri berdiri diawali dengan perintah Raja Airlangga untuk membagi kerajaan menjadi dua, yaitu Jenggala Kahuripan dan Panjalu Kediri.Menurut buku Sejarah Indonesia Kelas X Semester 1 karya Amurwani Dwi L. dkk., pembagian kerajaan tersebut karena pada November 1042 kedua putra Raja Airlangga berebut takhta kerajaan. Kerajaan Janggala meliputi Malang dan Delta Sungai Brantas dengan pelabuhan Surabaya, Rembang, dan Pasuruan, dengan Ibu Kota Kahuripan. Sedangkan Kerajaan Panjalu Kediri meliputi Kediri, Madiun dengan Ibu Kotanya perang saudara tersebut membuat Kerajaan Panjalu diberikan kepada Sri Samarawijaya. Sedangkan Kerajaan Jenggala Kahuripan diberikan pada Mapanji Prasasti Meaenga disebutkan bahwa Panjalu bisa dikuasai Jenggala. Nama Raja Mapanji Garasakan 1042-1052 M pun diabadikan. Namun, pada peperangan berikutnya Kerajaan Panjalu berhasil menguasai seluruh takhta Kerajaan Kediri. Foto Politik, Sosial, dan Ekonomi Kerajaan KediriPada 1135 M tampil raja yang sangat terkenal, yakni Raja Jayabaya. Sampai masa awal pemerintahannya, kekacauan akibat pertentangan dengan Janggala terus berlangsung. Pada 1135 M, Jayabaya baru berhasil memadamkan kekacauan bukti, terdapat kata-kata Panjalu Jayati pada Prasasti Hantang. Setelah kerajaan stabil, Jayabaya mulai menata dan mengembangkan Kerajaan Kediri menjadi teratur. Bidang pertanian, pelayaran, dan perdagangan berkembang. Hal ini ditopang oleh Angkatan Laut Kediri yang cukup tangguh. Armada laut Kediri mampu menjamin keamanan perairan Nusantara. Barang perdagangan di Kediri saat itu antara lain emas, perak, gading, kayu cendana, dan pinang. Kesadaran rakyat tentang pajak sudah tinggi. Hal itu menunjukkan berkembangnya Kerajaan Sastra Peninggalan Kerajaan KediriMerujuk pada buku Sejarah Indonesia Kelas X Semester 1 oleh Amurwani Dwi L. dkk., beberapa karya sastra terkenal peninggalan Kerajaan Kediri adalah sebagai berikutKitab Bharatayuddha ditulis ketika zaman Jayabaya. Tujuan kitab ini memberi gambaran bahwa pernah terjadi perang saudara antara Panjalu melawan Jenggala. Kitab Kresnayana ditulis oleh Empu Triguna pada zaman Raja Jayaswara. Isinya mengenai perkawinan antara Kresna dan Dewi RukminiKitab Smaradahana ditulis saat zaman Raja Kameswari oleh Empu Darmaja. Isi kitabnya mengisahkan sepasang suami istri Smara dan Rati yang menggoda Dewa Syiwa yang sedang bertapa. Mereka terkena kutuk dan mati terbakar oleh api karena kesaktian Dewa Syiwa. Namun, kedua suami istri itu dihidupkan lagi dan menjelma sebagai Kameswara dan Lubdaka ditulis oleh Empu Tanakung pada zaman Raja Kameswara. Isi kitab Lubdaka adalah tentang seorang pemburu bernama Lubdaka. Di mana letak Kerajaan Kediri?Siapakah Raja pertama Kerajaan Kediri?Sebutkan karya sastra peninggalan Kerajaan Kediri! Tahukah anda tentang Kerajaan kediri ??? Jika anda belum mengetahuinya anda tepat sekali mengunjungi Karena pada kesempatan kali ini akan membahas tentang sejarah Kerajaan Kediri, raja-raja Kerajaan kediri, peninggalan Kerajaan kediri, dan kehidupan politik Kerajaan kediri secara lengkap. Oleh karena itu marilah simak ulasan yang ada dibawah berikut ini. Kerajaan Kediri Sejarah Kerajaan Kediri AWAL MULA Kerajaan Kediri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Wangsa Isyana Kerajaan Medang Kamulan. Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang bercorak Hindu terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kediri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha. Kerajaan ini merupakan salah satu dari dua kerajaan pecahan Kahuripan pada tahun 1045 Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan. Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan tahta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Jenggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri Panjalu dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Panjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri. Perkembangan Kerajaan Kediri Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala. Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kediri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kediri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta 1178. Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan banyak yang diketahui peristiwa di masa-masa awal Kerajaan Kediri. Raja Kameswara 1116-1136 menikah dengan Dewi Kirana, puteri Kerajaan Janggala. Dengan demikian, berakhirlah Janggala kembali dipersatukan dengan Kediri. Kediri menjadi kerajaan yang cukup kuat di Jawa. Pada masa ini, ditulis kitab Kakawin Smaradahana, yang dikenal dalam kesusastraan Jawa dengan cerita Panji. Nama Kediri ada yang berpendapat berasal dari kata “Kedi” yang artinya “Mandul” atau “Wanita yang tidak berdatang bulan”.Menurut kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, Kedi” berarti Orang Kebiri Bidan atau Dukun. Di dalam lakon Wayang, Sang Arjuno pernah menyamar Guru Tari di Negara Wirata, bernama “Kedi Wrakantolo”.Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng, “Kedi” berarti Suci atau Wadad. Disamping itu kata Kediri berasal dari kata “Diri” yang berarti Adeg, Angdhiri, menghadiri atau menjadi Raja bahasa Jawa Jumenengan. Untuk itu dapat kita baca pada prasasti “WANUA” tahun 830 saka, yang diantaranya berbunyi ” Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban”, artinya pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban. Nama Kediri banyak terdapat pada kesusatraan Kuno yang berbahasa Jawa Kuno seperti Kitab Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Kitab Calon pula pada beberapa prasasti yang menyebutkan nama Kediri seperti Prasasti Ceber, berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar Kecamatan prasasti ini menyebutkan, karena penduduk Ceker berjasa kepada Raja, maka mereka memperoleh hadiah, “Tanah Perdikan”. Dalam prasasti itu tertulis “Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri” artinya raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kamulan di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek yang berangkat tahun 1116 saka, tepatnya menurut Damais tanggal 31 Agustus prasasti itu juga menyebutkan nama, Kediri, yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur. “Aka ni satru wadwa kala sangke purnowo”, sehingga raja meninggalkan istananya di Katangkatang “tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri”. Tatkala Bagawantabhari memperoleh anugerah tanah perdikan dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang tertulis di ketiga prasasti Kediri semula kecil lalu berkembang menjadi nama Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal hingga sekarang. Raja-Raja Kerajaan Kediri Kerajaan Kediri yang termasyhur pernah diperintah 8 raja dari awal berdirinya sampai masa keruntuhan kerajaan ini. Dari kedelapan raja yang pernah memerintah kerajaan ini yang sanggup membawa Kerajaan Kediri kepada masa keemasan adalah Prabu Jayabaya, yang sangat terkenal hingga saat ini. Adapun 8 raja Kediri tersebut urutannya sebagai berikut 1. Sri Jayawarsa Sejarah tentang raja Sri Jayawarsa ini hanya dapat diketahui dari prasasti Sirah Keting 1104 M. Pada masa pemerintahannya Jayawarsa memberikan hadiah kepada rakyat desa sebagai tanda penghargaan, karena rakyat telah berjasa kepada raja. Dari prasasti itu diketahui bahwa Raja Jayawarsa sangat besar perhatiannya terhadap masyarakat dan berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. 2. Sri Bameswara Raja Bameswara banyak meninggalkan prasasti seperti yang ditemukan di daerah Tulung Agung dan Kertosono. Prasasti seperti yang ditemukan itu lebih banyak memuat masalah-masalah keagamaan, sehingga sangat baik diketahui keadaan pemerintahannya. 3. Prabu Jayabaya Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh Prabu Jayabaya. Strategi kepemimpinan Prabu Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya memang sangat mengagumkan. Kerajaan yang beribu kota di Dahono Puro, bawah kaki Gunung Kelud, ini tanahnya amat subur, sehingga segala macam tanaman tumbuh menghijau. Hasil pertanian dan perkebunan berlimpah ruah. Di tengah kota membelah aliran sungai Brantas. Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, sehingga makanan berprotein dan bergizi selalu tercukupi. Hasil bumi itu kemudian diangkut ke kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan naik perahu menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar, sehingga Kerajaan Kediri benar-benar dapat disebut sebagai negara yang “Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja”. Prabu Jayabaya memerintah antara tahun 1130 sampai 1157 Masehi. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dalam hal hukum dan pemerintahan tidak tanggung-tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh ke depan menjadikan Prabu Jayabaya layak dikenang sepanjang masa. Jika rakyat kecil hingga saat ini ingat kepada beliau, hal itu menunjukkan bahwa pada masanya berkuasa tindakan beliau yang selalu bijaksana dan adil terhadap rakyat. 4. Sri Sarwaswera Sejarah tentang raja ini didasarkan pada prasasti Padelegan II 1159 dan prasasti Kahyunan 1161. Sebagai raja yang taat beragama dan berbudaya, Sri Sarwaswera memegang teguh prinsip “tat wam asi”, yang berarti “dikaulah itu, dikaulah semua itu, semua makhluk adalah engkau”. Menurut Prabu Sri Sarwaswera, tujuan hidup manusia yang terakhir adalah moksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju arah kesatuan, sehingga segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar. 5. Sri Aryeswara Berdasarkan prasasti Angin 1171, Sri Aryeswara adalah raja Kediri yang memerintah sekitar tahun 1171. Nama gelar abhisekanya ialah Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara Madhusudanawatara Arijamuka. Tidak diketahui dengan pasti kapan Sri Aryeswara naik tahta. peninggalan sejarahnya berupa prasasti Angin, 23 Maret 1171. Lambang Kerajaan Kediri pada saat itu Ganesha. Tidak diketahui pula kapan pemerintahannya berakhir. Raja Kediri selanjutnya berdasarkan prasasti Jaring adalah Sri Gandra. 6. Sri Gandra Masa pemerintahan Raja Sri Gandra 1181 M dapat diketahui dari prasasti Jaring, yaitu tentang penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti seperti nama gajah, kebo, dan tikus. Nama-nama tersebut menunjukkan tinggi rendahnya pangkat seseorang dalam istana. 7. Sri Kameswara Masa pemerintahan Raja Sri Gandra dapat diketahui dari Prasasti Ceker 1182 dan Kakawin Smaradhana. Pada masa pemerintahannya dari tahun 1182 sampai 1185 Masehi, seni sastra mengalami perkembangan sangat pesat, diantaranya Empu Dharmaja mengarang kitab Smaradhana. Bahkan pada masa pemerintahannya juga dikeal cerita-cerita panji seperti cerita Panji Semirang. 8. Sri Kertajaya Berdasarkan prasasti Galunggung 1194, prasasti Kamulan 1194, prasasti Palah 1197, prasasti Wates Kulon 1205, Nagarakretagama, dan Pararaton, pemerintahan Sri Kertajaya berlangsung pada tahun 1190 hingga 1222 Masehi. Raja Kertajaya juga dikenal dengan sebutan “Dandang Gendis”. Selama masa pemerintahannya, kestabilan kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Kertajaya ingin mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Keadaan ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri waktu itu semakin tidak aman. Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken Arok. Mengetahui hal ini Raja Kertajaya kemudian mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. Sementara itu Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Ganter 1222 M. Kitab / Sistem Perundang-undangan Kediri Sistem Perundang-undangan Kerajaan Kediri disusun oleh para ahli hukum yang tergabung dalam Dewan Kapujanggan Istana. Sebelum menjalankan tugasnya para pakar hukum tadi senantiasa melakukan studi banding dalam hal penyusunan hukum serta konstitusi dari negeri lain. Produk hukum yang telah dihasilkan oleh dewan tersebut yaitu Kitab Darmapraja. Kitab ini merupakan karya pustaka yang berisi Tata Tertib Penyelenggaraan Pemerintahan dan Kenegaraan. Dalam soal pengadilan, Raja selalu mengikuti Undang-undang ini, sehingga adil segala keputusan yang diambilnya, membuat puas semua pihak Brandes, 189688. Pada pasal-pasal kitab tersebut, kata “agama” dapat ditafsirkan sebagai Undang-undang atau Kitab Perundang-undangan. Kadang yang berbeda ini perumusannya saja, yang satu lebih panjang daripada yang lain dan merupakan kelengkapan atau penjelasan dari pasal sejenis yang pendek. Kitab Perundang-undangan Agama adalah terutama Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun di samping Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdapat juga Undang-undang Hukum Perdata. Tata cara jual-beli, pembagian warisan, pernikahan dan perceraian masuk dalam Undang-undang Hukum Perdata Hazeu, 198787. Memang pada zaman Kadiri belum ada perincian tegas antara Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Menurut sejarah per Undang-undangan Hukum Perdata tumbuh dari Hukum Pidana, jadi percampuran Hukum Perdata dan Hukum Pidana dalam Kitab Perundang-undangan Agama di atas bukan suatu keganjilan ditinjau dari segi sejarah hukum. Sistem Peradilan Kerajaan Kediri Sistem peradilan Kerajaan Kediri bertujuan untuk mencapai kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kerajaan Stutterheim, 1930254. Dengan adanya kepastian hukum, maka hak dan kewajiban semua warga kerajaan dapat dijamin. Keseimbangan antara hak dan kewajiban warga kerajaan telah membuktikan serta membuahkan ketentraman lahir dan batin. Aparat dan rakyat menghormati hukum atau darma semata-mata demi terjaganya kepentingan bersama. Semua keputusan dalam pengadilan diambil atas nama Raja yang disebut Sang Amawabhumi artinya orang yang mempunyai atau menguasai negara. Dalam Mukadimah Darmapraja ditegaskan demikian Semoga Sang Amawabhumi teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah trap. Jangan sampai orang yang bertingkah salah, luput dari tindakan. Itulah kewajiban Sang Amawabhumi, jika beliau mengharapkan kerahayuan negaranya Moedjanto, 199456. Dalam soal pengadilan, Raja dibantu oleh dua orang Adidarma Dyaksa. Seorang Adidarma Dyaksa Kasiwan dan seorang Adidarma Dyaksa Kabudan, yakni kepala agama Siwa dan kepala agama Buda dengan sebutan Sang Maharsi, karena kedua agama itu merupakan agama utama dalam Kerajaan Kadiri dan segala Perundang-undangan didasarkan agama. Kedudukan Adidarma Dyaksa boleh disamakan dengan kedudukan Hakim Tinggi. Mereka itu dibantu oleh lima Upapati artinya pembantu dalam pengadilan adalah pembantu Adidarma Dyaksa. Mereka itu biasa disebut Pamegat atau Sang Pamegat artinya Sang Pemutus alias Hakim. Baik Adidarma Dyaksa maupun Upapati bergelar Sang Maharsi. Mula-mula jumlahnya hanya lima yakni Sang Pamegat Tirwan, Sang Pamegat Kandamuhi, Sang Pamegat Manghuri, Sang Pamegat Jambi, Sang Pamegat Pamotan. Mereka itu semuanya termasuk golongan Kasiwan, karena agama Siwa adalah agama resmi negara Kadiri dan mempunyai pengikut paling banyak. Pada zaman pemerintahan Prabu Jayabhaya jumlah Upapati ditambah dua menjadi tujuh. Keduanya termasuk golongan Kabudan, sehingga ada lima Upapati Kasiwan dan dua Upapati Kabudan. Perbandingan itu sudah layak mengingat jumlah pemeluk agama Buda kalah banyak dengan jumlah pemeluk agama Siwa. Dua Upapati Kabudan itu ialah Sang Pamegat Kandangan Tuha dan Sang Pamegat Kandangan Rare. Ketika Prabu Jayabaya bertahta di Mamenang, beliau dihadap oleh pelbagai pembesar, di antaranya Dyaksa, Upapati dan Para Panji yang paham tentang Undang-undang Rassers, 1959243. Dari uraian itu nyata bahwa Para Panji adalah pembantu para Upapati dalam melakukan pengadilan di daerah-daerah. Pangkat Panji masih dikenal di kesultanan Yogyakarta sampai tahun 1940. Para Panji di Kesultanan Yogya diserahi tugas pengadilan. Jadi tidak berbeda dengan Para Panji pada zaman Kadiri. Lembaga peradilan kerajaan ini bertanggung jawab kepada Raja secara langsung. Akan tetapi silang sengketa yang menyangkut kepenting¬an Raja dan keluarganya, menggunakan peradilan khusus, sehingga kontaminasi dan intervensi terhadap hasil putusan dapat dihindari. Dalam hal ini Raja mempunyai staf hukum yang mumpuni, profesional dan tidak diragukan lagi integritas serta kredibilitasnya. Hukum Positif dan Budaya Simbolik Dalam masa pemerintahan Prabu Jayabaya, prinsip pelaksanaan kenegaraan terbagi menjadi dua yakni hukum positif dan budaya simbolik. Hukum positif merupakan hukum yang berlaku berdasar peraturan tertulis yang disepakati bersama. Biasanya hukum ini bersifat praktis, teknis dan mikro. Semua transaksi dan lika-liku kehidupan yang menyang kut jual beli, dagang, ekonomi, politik, karier, birokrasi, organisasi dan perkawinan diatur secara rinci. Pelanggaran hukum dan dendanya pun diatur secara detail. Di samping hukum positif, dalam menata masyarakatnya Prabu Jayabhaya menggunakan pendekatan budaya simbolik. Untuk menunjang keberhasilan program ini, maka diperintahkanlah para pujangga untuk menulis karya cipta. Tujuannya agar aparat dan rakyat patuh pada norma susila. Hanya saja apabila terjadi pelanggaran maka hukuman dan sangsinya bersifat ghaib spiritual. Pujangga yang diberi tugas menulis kitab spiritual itu di antaranya adalah Empu Sedah dan Empu Panuluh. Empu Sedah adalah penyusun Kakawin Baratayudha pada tahun 1079 Saka atau 1157 Masehi, dengan sengkalan berbunyi Sangha Kuda Suddha Candrama. Hanya saja, Empu Sedah keburu meninggal sebelum karyanya selesai. Kakawin Baratayudha dipersembahkan kepada Prabu Jayabhaya, Mapanji Jayabhaya, Jayabhaya Laksana atau Sri Warmeswara. Tingkat kecerdasan rakyat memang berbeda-beda. Hukum positif yang disusun oleh elit negara, kadang kala kurang bisa dipahami oleh rakyat awam. Keadaan ini disadari oleh para Raja Kadiri. Oleh karena itu demi terciptanya susasana yang harmonis, lantas diciptakan nasehat-nasehat simbolis berbau mistis. Kenyataannya pesan-pesan spitirual Prabu Jayabhaya yang dibungkus dengan ramalan ghaib tadi dipercaya oleh sebagian besar masyarakat. Sebagai pelengkap dan pengiring hukum positif, maka budaya simbolik tersebut dapat digunakan untuk mencapai ketertiban sosial. Prabu Jayabaya adalah raja besar laksana Dewa Keadilan yang angejawantah ing madyapada. Sikap hidupnya benar-benar bijaksana. Kewibawaannya telah membuat ketentraman dan kemuliaan jagat raya, yang membuat Kerajaan Kadiri mencapai masa kejayaan dan keemasan. Selama Prabu Jayabaya memegang kendali pemerintahan dan tata praja, Nusantara sungguh-sungguh diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia Selatan. Beliau berhasil mewujudkan negara yang Gedhe Obore, Padhang Jagade, Dhuwur Kukuse, Adoh Kuncarane, Ampuh Kawibawane. Masyarakat merasakan negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Karta Raharja. Konsep Saptawa, dijadikan sebagai program utama yaitu Wastra sandang 2. Wareg pangan 3. Wisma papan 4. Wasis pendidikan 5. Waras kesehatan 6. Waskita keruhanian, dan 7. Wicaksana kebijaksanaan. Masyarakat Jawa percaya bahwa Prabu Jayabaya selalu bersikap arif dan bijaksana serta menjunjung hukum yang berlaku. Semua golongan masyarakat bersatu padu mendukung pemerintahannya. Refleksi kearifan warisan para leluhur raja Jawa dijadikan referensi untuk membawa kebesaran Nusantara. Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Kediri, di samping faktor kepemimpinan rajanya yang selalu mengutamakan kepentingan umum, juga didukung oleh kejeliannya dalam menyusun Undang-undang dasar yang mengikat sekalian warganya. Kepatuhan pada konstitusi telah membuat ketertiban di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri. Aparat kerajaan yang terdiri dari pejabat sipil dan militer bekerja sesuai dengan amanat konstitusi, sehingga segala kebijakan kerajaan membuahkan kemakmuran dan ketentraman rakyat. Bukti Peninggalan Sejarah Kerajaan Kediri Sumber sejarah kerajaan Kediri dapat di telusuri dari beberapa prasasti dan berita asing di antaranya Prasasti Banjaran berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan Panjalu atas Jenggala. Prasasti Hantang berangka tahun 1052 M menjelaskan Panjalu pada masa Jayabaya. Prasasti Sirah Keting 1104 M, memuat pemberian hadiah tanah kepada rakyat desa oleh Jayawarsa. Prasasti yang ditemukan di Tulungagung dan Kertosono berisi masalah keagamaan , berasal dari raja Bameswara. Prasasti Ngantang 1135M, menyebutkan raja Jayabaya yang memberikan hadiah kepada rakyat desa Ngantang sebidang tanah yang bebas dari pajak. Prasasti Jaring 1181M, dari raja Gandra yang memuat sejumlah nama pejabat dengan menggunakan nama hewan seperi Kebo Waruga dan Tikus Jinada. Prasasti Kamulan 1194M , memuat masa pemerintahan Kertajaya , dimana Kediri berhasil mengalahkan musuh yang telah memusuhi istana Katang-Katang. Candi Penataran Candi termegah dan terluas di Jawa Timur ini terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar, pada ketinggian 450 meter dpl. Dari prasasti yang tersimpan di bagian candi diperkirakan candi ini dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kediri sekitar tahun 1200 Masehi dan berlanjut digunakan sampai masa pemerintahan Wikramawardhana, Raja Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1415. Candi Gurah Candi Gurah terletak di kecamatan di Kediri, Jawa Timur. Pada tahun 1957 pernah ditemukan sebuah candi yang jaraknya kurang lebih 2 km dari Situs Tondowongso yang dinamakan Candi Gurah namun karena kurangnya dana kemudian candi tersebut dikubur kembali. Candi Tondowongso Situs Tondowongso merupakan situs temuan purbakala yang ditemukan pada awal tahun 2007 di Dusun Tondowongso, Kediri, Jawa Timur. Situs seluas lebih dari satu hektare ini dianggap sebagai penemuan terbesar untuk periode klasik sejarah Indonesia dalam 30 tahun terakhir semenjak penemuan Kompleks Percandian Batujaya, meskipun pernah menemukan satu arca dari lokasi yang sama pada tahun 1957. Penemuan situs ini diawali dari ditemukannya sejumlah arca oleh sejumlah perajin batu bata bentuk dan gaya tatahan arca yang ditemukan, situs ini diyakini sebagai peninggalan masa Kerajaan Kediri awal abad XI, masa-masa awal perpindahan pusat politik dari kawasan Jawa Tengah ke Jawa Timur. Selama ini Kerajaan Kediri dikenal dari sejumlah karya sastra namun tidak banyak diketahui peninggalannya dalam bentuk bangunan atau hasil pahatan. Arca Buddha Vajrasattva Arca Buddha Vajrasattva ini berasal dari zaman Kerajaan Kediri abad X/XI. Dan sekarang merupakan Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman. Prasasti Galunggung Prasasti Galunggung memiliki tinggi sekitar 160 cm, lebar atas 80 cm, lebar bawah 75 cm. Prasasti ini terletak di Rejotangan, Tulungagung. Di sekeliling prasasti Galunggung banyak terdapat tulisan memakai huruf Jawa kuno. Tulisan itu berjajar rapi. Total ada 20 baris yang masih bisa dilihat mata. Sedangkan di sisi lain prasasti beberapa huruf sudah hilang lantaran rusak dimakan usia. Di bagian depan, ada sebuah lambang berbentuk lingkaran. Di tengah lingkaran tersebut ada gambar persegi panjang dengan beberapa logo. Tertulis pula angka 1123 C di salah satu sisi prasasti. Candi Tuban Pada tahun 1967, ketika gelombang tragedi 1965 melanda Tulungagung. Aksi Ikonoklastik, yaitu aksi menghancurkan ikon – ikon kebudayaan dan benda yang dianggap berhala terjadi. Candi Mirigambar luput dari pengrusakan karena adanya petinggi desa yang melarang merusak candi ini dan kawasan candi yang dianggap pun beralih ke Candi Tuban, dinamakan demikian karena candi ini terletak di Dukuh Tuban, Desa Domasan, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung. Candi ini terletak sekitar 500 meter dari Candi Mirigambar. Candi Tuban sendiri hanya tersisa kaki candinya. Setelah dirusak, candi ini dipendam dan kini diatas candi telah berdiri kandang kambing, ayam dan Pak Suyoto, jika warga mau kembali menggalinya, maka kira – kira setengah sampai satu meter dari dalam tanah, pondasi Candi Tuban bisa tersingkap dan relatif masih utuh. Pengrusakan atas Candi Tuban juga didasari legenda bahwa Candi Tuban menggambarkan tokoh laki – laki Aryo Damar, dalam legenda Angling Dharma dan jika sang laki – laki dihancurkan, maka dapat dianggap sebagai kemenangan. Prasasti Panumbangan Pada tanggal 2 Agustus 1120 Maharaja Bameswara mengeluarkan prasasti Panumbangan tentang permohonan penduduk desa Panumbangan agar piagam mereka yang tertulis di atas daun lontar ditulis ulang di atas batu. Prasasti tersebut berisi penetapan desa Panumbangan sebagai sima swatantra oleh raja sebelumnya yang dimakamkan di Gajapada. Raja sebelumnya yang dimaksud dalam prasasti ini diperkirakan adalah Sri Jayawarsa. Prasasti Talan Prasasti Talan/ Munggut terletak di Dusun Gurit, Kabupaten Blitar. Prasasti ini berangka tahun 1058 Saka 1136 Masehi. Cap prasasti ini adalah berbentuk Garudhamukalancana pada bagian atas prasasti dalam bentuk badan manusia dengan kepala burung garuda serta prasasti ini berkenaan dengan anugerah sima kepada Desa Talan yang masuk wilayah Panumbangan memperlihatkan prasasti diatas daun lontar dengan cap kerajaan Garudamukha yang telah mereka terima dari Bhatara Guru pada tahun 961 Saka 27 Januari 1040 Masehi dan menetapkan Desa Talan sewilayahnya sebagai sima yang bebas dari kewajiban iuran pajak sehingga mereka memohon agar prasasti tersebut dipindahkan diatas batu dengan cap kerajaan Jayabhaya mengabulkan permintaan warga Talan karena kesetiaan yang amat sangat terhadap raja dan menambah anugerah berupa berbagai macam hak istimewa. Peninggalan Kitab Kerajaan Kediri Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat sehingga banyak karya sastra yang dihasilkan. Karya sastra tersebut adalah sebagai berikut Kitab Wertasancaya karangan Empu Tan Akung yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik. Kitab Smaradhahana yang digubah oleh Empu Dharmaja dan berisi pujian kepada raja sebagai titisan Dewa Kama. Kitab ini juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana. Kitab Lubdaka karangan Empu Tan Akung yang berisi kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga. Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karean suka menolong dan sakti. Kitab Samanasantaka karangan Empu Monaguna yang mengisahkan Bidadari Harini yang terkenal untuk Begawan Trenawindu. Kitab Baharatayuda yang diubah oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh. Kitab Gatotkacasraya dan Kitab Hariwangsa yang diubah oleh Empu Panuluh. Kehidupan Politik Dan Pemerintahan Kerajaan Kediri Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung 1052 – 1059 M. Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara 1116 – 1135 M dari Kediri. Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala. Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut. Pada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Airlangga berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah kewibawaan kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat pemerintahan dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih payahnya , Medang Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir hayatnya , Airlangga memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Airlangga meninggal pada tahun 1049 M. Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri Panjalu dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kediri Strategi kepemimpinan Prabu Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya memang sangat mengagumkan Gonda, 1925 111. Kerajaan yang beribukota di Dahanapura bawah kaki Gunung Kelud ini tanahnya amat subur, sehingga segala macam tanaman tumbuh menghijau. Pertanian dan perkebunan hasilnya berlimpah ruah. Di tengah kota membelah aliran sungai Brantas. Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, sehingga makanan berprotein dan bergizi selalu tercukupi. Hasil bumi itu kemudian diangkut ke Kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan naik perahu menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar sehingga Kerajaan Kadiri benar-benar dapat disebut sebagai negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja. Dalam kehidupan ekonomi diceritakan bahwa perekonomian Kediri bersumber atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal sebagai penghasil beras,menanam kapas dan memelihara ulat sutra. Dengan demikian dipandang dariaspek ekonomi, kerajaan Kediri sudah cukup makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para pegawainya walaupun hanya dibayar dengan hasil bumi. Demikian keterangan yang diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta. Untuk menopang penghasilan kerajaan , diberlakukan sistem pajak. Komoditas dagang berupa beras, emas, perak, daging, dan kayu cendana. Adapun bentuk pajak berupa beras, kayu, dan palawija. Kehidupan AGAMA DAN SPIRITUAL Kerajaan Kediri Agama yang berkembang di Kediri adalah agama hindu aliran Waisnawa Airlangga titisan Wisnu. Dalam bidang spiritual di Kerajaan Kediri juga sangat maju Pigeaud, 192467. Tempat ibadah dibangun di mana-mana. Para guru kebatinan mendapat tempat yang terhormat. Bahkan Sang Prabu sendiri kerap melakukan tirakat, tapa brata dan semedi. Beliau suka bermeditasi di tengah hutan yang sepi. Laku prihatin dengan cegah dhahar lawan guling, mengurangi makan tidur. Hal ini menjadi aktifitas ritual sehari-hari. Tidak mengherankan apabila Prabu Jayabhaya ngerti sadurunge winarah Tahu sebelum terjadi yang bisa meramal owah gingsire jaman. Ramalan itu sungguh relevan untuk membaca tanda-tanda jaman saat ini. Prabu Jayabaya memerintah antara 1130 – 1157 M. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dalam hal hukum dan pemerintahan tidak tanggung-tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh ke depan menjadikan Prabu Jayabaya layak dikenang sepanjang masa. Kalau rakyat kecil hingga saat ini ingat pada beliau, hal itu menunjukkan bahwa pada masanya berkuasa tindakannya selalu bijaksana dan adil terhadap rakyatnya. Kehidupan beragama sudah diatur juga dalam Undang-undang. Tiap bab memuat pasal-pasal yang sejenis, sehingga ada sistematika dalam penyusunan. Sudah pasti bahwa susunannya semula menganut suatu sistem. Kitab hukum per Undang-undangan itu disusun sebagai berikut Bab I Sama Beda Dana Denda, berisi ketentuan diplomasi, aliansi, konstribusi dan sanksi. Bab II Astadusta, berisi tentang sanksi delapan kejahatan penipuan, pemerasan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, pembalakan, penindasan dan pembunuhan Bab III Kawula, berisi tentang hak-hak dan kewajiban masyarakat sipil. Bab IV Astacorah, berisi tentang delapan macam penyimpangan administrasi kenegaraan. Bab V Sahasa, berisi tentang sistem pelaksanaan transaksi yang berkaitan pengadaan barang dan jasa. Bab VI Adol-atuku, berisi tentang hukum perdagangan. Bab VII Gadai atau Sanda, berisi tentang tata cara pengelolaan lembaga pegadaian. Bab VIII Utang-apihutang, berisi aturan pinjam-meminjam Bab IX Titipan, berisi tentang sistem lumbung dan penyimpanan barang. Bab X Pasok Tukon, berisi tentang hukum perhelatan. Bab XI Kawarangan, berisi tentang hukum perkawinan. Bab XII Paradara, berisi hukum dan sanksi tindak asusila. Bab XIII Drewe kaliliran, berisi tentang sistem pembagian warisan. Bab XIV Wakparusya, berisi tentang sanksi penghinaan dan pencemaran nama baik. Bab XV Dendaparusya, berisi tentang sanksi pelanggaran administrasi Bab XVI Kagelehan, berisi tentang sanksi kelalaian yang menyebabkan kerugian publik. Bab XVII Atukaran, berisi tentang sanksi karena menyebarkan permusuhan. Bab XVIII Bumi, berisi tentang tata cara pungutan pajak Bab XX Dwilatek, berisi tentang sanksi karena melakukan kebohongan publik. Kehidupan Sosial Dan Budaya Kondisi masyarakat Kediri sudah teratur. Penduduknya sudah memakai kain sampai di bawah lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi. Dalam perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima maskawin berupa emas. Orang-orang yang sakit memohon kesembuhan kepada dewa dan Buddha. Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Hal itu dibuktikan pada kitab Lubdaka yang berisi tentang kehidupan sosial masyarakat pada saat itu. Tinggi rendahnya martabat seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta bendanya, tetapi berdasarkan moral dan tingkah lakunya. Raja juga sangat menghargai dan menghormati hak-hak rakyatnya. Akibatnya, rakyat dapat leluasa menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat. Banyak karya sastra yang dihasilkan. Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja pernah memerintahkan kepada Empu Sedah untuk mengubah kitab Bharatayuda ke dalam bahasa Jawa Kuno. Karena tidak selesai, pekerjaan itu dilanjutkan oleh Empu Panuluh. Dalam kitab itu, nama Jayabaya disebut beberapa kali sebagai sanjungan kepada rajanya. Kitab itu berangka tahun dalam bentuk candrasangkala, sangakuda suddha candrama 1079 Saka atau 1157 M. Selain itu, Empu Panuluh juga menulis kitab Gatutkacasraya dan Hariwangsa. Pada masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra, antara lain sebagai berikut. Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik. Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu Dharmaja. Kitab itu berisi pujian kepada raja sebagai seorang titisan Dewa Kama. Kitab itu juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana. Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga. Selain karya sastra tersebut, masih ada karya sastra lain yang ditulis pada zaman Kediri, antara lain sebagai berikut. Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka menolong dan sakti. Kresna akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini. Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu. Adakalanya cerita itu dijumpai dalam bentuk relief pada suatu candi. Misalnya, cerita Kresnayana dijumpai pada relief Candi Jago bersama relief Parthayajna dan Kunjarakarna. Karya di Bidang Hukum Tata Negara Empu Triguna hidup pada masa pemerintahan Prabu Jayawarsa di Panjalu pada tahun 1026 Saka atau 1104 Masehi Poerbatjaraka, 1957 18. Prabu Jayawarsa ini juga menjadi patron bagi para pujangga dalam mengembangkan dinamika ilmu hukum dan tata praja. Para cendekiawan yang berbakat diberi fasilitas untuk mengaktualisasikan idealismenya. Pernyataan ini didukung, sebenarnya sudah digarisbawahi oleh pujangga kita dahulu. Karya hukum dan tata praja yang telah diciptakan oleh Empu Triguna adalah Kakawin Kresnayana. Kakawin Kresnayana berisi tentang ilmu hukum dan pemerintahan. Prabu Jayawarsa juga amat peduli dengan kehidupan ilmu pengetahuan, sebagai tanda bahwa beliau juga seorang humanis. Empu Manoguna adalah rekan seangkatan Empu Triguna. Keduanya merupakan pujangga istana jaman Prabu Jayawarsa di Kerajaan Kadiri. Menilik nama Empu Manoguna dan Triguna ada bagian yang sama, kemungkinan besar dapat diduga keduanya masih ada hubungan kerabat atau seperguruan. Yang jelas kedua Empu ini adalah konsultan dan penasehat utama Prabu Jayawarsa. Karya hukum dan tata praja ciptaan Empu Manoguna adalah Kakawin Sumanasantaka, cerita yang bersumber dari Kitab Raguwangsa karya pujangga besar dari India, Sang Kalisada. Pengaruh India ke dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno memang besar, baik yang bersifat Hindu maupun Buda. Hal ini tampak dengan ungkapan bahasa Sansekerta yang masuk dalam kosakata ilmu pengetahuan Jawa Kuno. Sumanasantaka berasal dari kata sumanasa = kembang dan antaka = mati. Artinya adalah mati oleh kembang. Serat Sumanasantaka menceritakan kebijaksanaan seorang raja dalam memimpin rakyatnya. Karya hukum dan tata praja Empu Dharmaja yang terkenal adalah Kakawin Smaradahana dan Kakawin Bomakawya. Kitab Smaradahana menceritakan Batara Kamajaya yang punya sifat keagungan. Kitab Bomakawya menurut Teeuw 194697 menceritakan cara memimpin yang berdasarkan pada nilai keadilan dan perdamaian. Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh Prabu Jayabaya. Sukses gemilang Kerajaan Kediri didukung oleh tampilnya cendekiawan terkemuka Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Triguna dan Empu Manoguna. Mereka adalah jalma sulaksana, manusia paripurna yang telah memperoleh derajat oboring jagad raya. Di bawah kepemimpinan Prabu Jayabhaya, Kerajaan Kadiri mencapai puncak peradaban, terbukti dengan lahirnya kitab-kitab hukum dan kenegaraan sebagaimana terhimpun dalam karya-karya Kakawin Bharatayuda oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh , Gathotkacasraya dan Hariwangsa oleh Empu Panuluh yang hingga kini merupakan warisan ruhani bermutu tinggi, Masa Kejayaan Kerajaan Kediri Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaan ketika masa pemerintahan Raja Jayabaya. Daerah kekuasaannya semakin meluas yang berawal dari Jawa Tengah meluas hingga hampir ke seluruh daerah Pulau Jawa. Selain itu, pengaruh Kerajaan Kediri juga sampai masuk ke Pulau Sumatera yang dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Kejayaan pada saat itu semakin kuat ketika terdapat catatan dari kronik Cina yang bernama Chou Ku-fei pada tahun 1178 M berisi tentang Negeri paling kaya di masa kerajaan Kediri pimpinan Raja Sri Jayabaya. Bukan hanya daerah kekuasaannya saja yang besar, melainkan seni sastra yang ada di Kediri cukup mendapat perhatian. Dengan demikian, Kerajaan Kediri semakin disegani pada masa itu. Masa Runtuhnya Kerajaan Kediri Kerajaan Panjalu / Kediri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya yang juga lebih dikenal dengan sebutan Dandang Gendis., dan dikisahkan dalam ”Pararaton” dan ”Nagarakretagama”. Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana. Selama pemerintahannya, keadaan Kediri menjadi tidak aman. Kestabilannya kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Raja Kertajaya mempunyai maksud mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Hal ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri semakin tidak aman. Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken Arok. Raja Kertajaya yang mengetahui bahwa kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel, mempersiapkan pasukannya untuk menyerang Tumapel. Sementara itu, Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Genter , sekitar Malang 1222 M. Dalam pertempuran itu pasukan Kediri berhasil dihancurkan. Raja Kertajaya berhasil meloloskan diri. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan kerajaan Kediri . Akhirnya kerajaan Kediri menjadi daerah bawahan Kerajaan Tumapel. Selanjutnya berdirilah Kerajaan Singasari dengan Ken Arok sebagai raja pertama. KESIMPULAN Kerajaan Kediri / Panjalu yang merupakan kerajaan hasil bagi dari kerajaan Kahuripan di Jawa Timur pada masa raja Airlangga merupakan kerajaan yang patut diperhitungkan. Kerajaan yang berada di sekitar wilayah Kediri sekarang ini mengalami masa puncak kejayaan pada masa raja Jayabaya yang sangat terkenal dengan ilmu dan keahliannya dalam membaca masa depan atau meramal. Tak hanya cakap dalam meramal, bahkan raja Jayabaya yang membawa kemakmuran bagi Kediri telah mampu mengelola dan memimpin kerajaannya dengan sangat baik. Hal ini terbukti dari berbagai peninggalan sejarah yang telah direkonstruksikan dan memberitahukan kepada pembaca sekarang bahwa pada zaman kerajaan Kediri telah muncul berbagai sastra dan budaya yang sangat luar biasa, mulai dari kitab Bharatayudha, Hariwangsa sampai Gatotkacasraya. Kerajaan Kediri pada masa itu merupakan kerajaan yang mandiri dan makmur, yang secara ekonomi mengalami kecukupan dengan mendayagunakan pertanian, perdagangan, dan peternakan. Kehidupan yang makmur membuat masyarakat dalam aspek sosial mengalami hal yang senada. Karena dipimpin raja yang bijak, tak urung kemajuan dari masyarakat yang berkecukupan dalam hal sandang, pangan dan papan. Tak hanya dalam hal fisik yang mencoba dibangun oleh raja Jayabaya pada saat itu juga telah diberlakukan ketertiban dan hukum yang jelas dank eras bagi seluruh rakyat Kediri. Walaupun kemakmuran tersebut tidak berlangsung lama karena kemudian kegelapan mengganti masa-masa jaya kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Kertajaya 1222 M. Kerincuhan dan selisih paham yang berlaku dan terjadi antara Kertajaya dan kaum brahmana ternyata membawa akhir bagi kerajaan Kediri. Brahnama yang tidak sepahan meminta bantuan Ken Arok yang pada saat itu juga sedang gencar-gencarnya melakukan usaha ekspansionis untuk mendirikan sebuah kerajaan yang pada akhirnya bernama Singasari. Namun, keberadaab kerajaan Kediri merupakan sebuah bukti eksistensi dan kemakmuan salah satu kerajaan di Jawa Timur sebagai penerus dinasti Isyana. Dengan sistem pemerintahan, birokrasi, ekonomi, sosial, budaya, dan agama yang mengalami kemajuan secara gilang-gemilang. DAFTAR PUSTAKA Hidayat Yoedoprawiro, 2000. Relevansi Ramalan Jayabaya dan Indonesia Abad XXI. Jakarta Balai Pustaka. Meinsma, 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647. S’Gravenhage. Moedjanto, 1994. Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta Kanisius. Pigeaud, 1924. De Tantu Panggelaran Uitgegeven, Vertaald en Toegelicht. Disertasi Leiden. Poerbatjaraka, 1957. Kapustakan Jawi. Jakarta Djambatan. Rassers, 1959. De Panji Roman, Leiden Dissertatie. Stutterheim, 1930. Rama Legenden und Rama Reliefs in Indonesia, Munchen Kulturkreis der Indische. Teeuw, 1946. Het Bhomakawya, Leiden Dissertatie. Zoetmulder, 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta Djambatan. Itulah ulasan tentang Kerajaan Kediri Sejarah, Raja, Dan Peninggalan, Beserta Kehidupan Politiknya Secara Lengkap. Semoga apa yang diulas diatas bermanfaat bagi pembaca. Sekian dan terimakasih. Baca juga refrensi artikel terkait lainnya disini Kerajaan Demak Sejarah, Raja, Dan Peninggalan, Beserta Masa Kejayaannya Secara Lengkap Kerajaan Banten Sejarah, Raja, Dan Peninggalan, Beserta Masa Kejayaannya Secara Lengkap Kerajaan Tarumanagara Sejarah, Raja, Dan Peninggalan Beserta Kehidupan Politik Secara Lengkap Kerajaan Sriwijaya Sejarah, Raja, Dan Peninggalan Beserta Kehidupan Politiknya Secara Lengkap Kerajaan Singasari Sejarah, Raja, Dan Peninggalan Beserta Kehidupan Politiknya Secara Lengkap Kerajaan Aceh Sejarah, Raja, Dan Peninggalan Beserta Kehidupan Politiknya Secara Lengkap Kerajaan Samudra Pasai Sejarah, Raja, Peninggalan, Beserta Kehidupan Politiknya Secara Lengkap Mungkin Dibawah Ini yang Kamu Cari

sistem politik kerajaan kediri